Assalamu'alaikum wr wb,
Setiap orang pasti tahu apa itu cemburu. Siapa sih yang tidak kenal istilah cemburu? Apalagi anak muda jaman sekarang. Setidaknya kata itu sering terdengar di telinga kita. Atau bahkan kita sendiri pernah merasakannya? Tentu saja selama seseorang masih memiliki hati, ia pasti pernah merasakan cemburu. Mengapa? Karena hati adalah tempatnya cinta, dan konsekuensi dari cinta adalah munculnya rasa cemburu pada diri orang yang mencintai ketika sesuatu yang dicintai mulai tidak mencintainya, atau berkurang cintanya padanya.
Cemburu memiliki kekuatan yang sangat dahsyat, seperti dahsyatnya kekuatan cinta itu sendiri. Dalam sebuah berita di salah satu majalah nasional terkemuka, disebutkan bahwa seorang lelaki tega menghabisi nyawa istrinya sendiri setelah ketahuan bahwa istrinya berhubungan dengan lelaki lain. Dalam kasus lain, seorang lelaki juga nekat menyobek perut tetangganya dengan celurit karena terbukti telah menghamili istrinya yang ia tinggal bekerja selama beberapa tahun di negeri jiran.
Lalu apa sebenarnya HAKEKAT CEMBURU? Apakah ia dibenarkan dalam Islam?
Suatu hari, Saad bin Ubadah berkata, “Seandainya aku melihat seorang laki-laki sedang bersama istriku, niscaya aku akan penggal leher lelaki itu”. Mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda kepada para sahabatnya, “Tidakkah kalian heran terhadap kecemburuan Saad? Sungguh, aku lebih cemburu daripada dia. Dan Allah lebih cemburu daripada aku”. (HR. Bukhari)
Cemburu adalah hal yang wajar, terutama pada istri sendiri. Rasa gelisah, cemas, khawatir, rindu, marah, kecewa, sedih, merasa bersalah dan sejuta rasa lainnya bersatu, campur aduk dalam hati orang yang sedang dilanda cemburu. Rasa sayang dan kehilangan kerap hinggap dan menyiksa diri sang pencemburu. Itulah yang mungkin dirasakan juga oleh salah seorang sahabat Nabi tersebut. Sangat tidak berlebihan jika ia bertekad ingin memenggal setiap laki-laki (bukan mahrom) yang berani berdua-duaan dengan istrinya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memujinya.
Turunnya ayat mula’anah (yaitu ayat ke-6 surat An-Nur) juga disebabkan oleh kecemburuan seorang lelaki yang mengaku melihat dengan mata kepalanya sendiri istrinya berzina dengan lelaki lain (lihat tafsir Ayat Al-Ahkam).
Ini adalah contoh cemburu yang baik dan diperintahkan dalam Islam, yaitu cemburu pada istri sendiri. Jika seorang istri telah menampakkan tanda-tanda melakukan tindakan nusyuz (serong, selingkuh), maka seorang suami berhak merasa cemburu. Begitu juga sebaliknya, seorang istri juga berhak merasa cemburu ketika suaminya tidak bisa menjaga pandangannya terhadap wanita lain (padahal ia telah merasakan ‘madu’nya pernikahan), atau bersikap mesra terhadap wanita lain yang bukan mahrom, atau bercerita tentang kelebihan-kelebihan yang dimiliki wanita lain.
Bahkan lebih dari itu, seseorang ayah pun berhak merasa cemburu ketika melihat anaknya atau anggota keluarganya melakukan tindakan yang dilarang agama. Tidak hanya yang sudah berkeluarga, orang yang belum berkeluarga pun juga diharamkan melakukan tindakan-tindakan yang dapat membuat Allah cemburu. Allah cemburu? Ya. Dan cemburunya Allah adalah jika perintah-perintah-Nya dilanggar.
Tak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itulah Dia mengharamkan perbuatan fawahisy (kotor). (HR. Bukhari: 5220, Muslim: 2760)
Wahai umat Muhammad, tak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah ketika melihat salah seorang hamba-Nya melakukan zina. (HR. Bukhari: 5221, Muslim: 901)
Sesungguhnya Allah merasa cemburu. Dan cemburunya Allah adalah jika seorang mukmin melakukan perkara yang diharamkan Allah. (HR. Bukhari: 5223, Muslim: 2761)
Cemburu adalah manusiawi. Rasa cemburu berperan penting dalam menjaga keutuhan sebuah rumah tangga agar bisa tetap terjaga, tentu saja jika kedua belah pihak (suami-istri) dapat menyikapinya dengan bijak. Bahkan, istri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, Siti Aisyah juga pernah merasa cemburu terhadap beliau.
Suatu hari, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mencandai Siti Aisyah dengan mengatakan, “Aku bisa membedakan ketika kamu sedang senang denganku atau ketika kamu sedang marah?”.
“Bagaimana bisa?” tanya Siti Aisyah terheran.
Beliau menjawab, “Ketika kamu sedang senang, pasti kamu bilang, ‘Tidak, demi Tuhannya Muhammad!’. Tapi kalau sedang marah, kamu pasti bilang, ‘Tidak, demi Tuhannya Ibrahim!’”.
Siti Aisyah menjawab, “Ya, demi Allah benar, wahai Rasulullah. Aku takkan mengganti kecuali namamu”. (HR. Bukhari: 5228, Muslim: 2439)
Satu-satunya wanita yang paling membuat Siti Aisyah merasa cemburu terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah Siti Khadijah, istri pertama beliau.
“Aku tak pernah merasa cemburu terhadap istri Rasulullah melebihi cemburuku pada Khadijah, karena seringnya beliau menyebut-nyebut namanya dan memuji-mujinya. Beliau telah diberi wahyu untuk memberikan kabar gembira kepada Khadijah bahwa telah dibuatkan rumah di surga untuknya” kata Siti Aisyah. (HR. Bukhari: 5229, Muslim: 2434)
Sebagaimana mencintai, cemburu pun juga harus pada tempatnya. Tidak boleh seseorang cemburu terhadap pasangan orang lain, karena memang tidak pada tempatnya ia cemburu. Dan bagaimana mungkin bisa cemburu terhadap pasangan orang lain? Begitu juga cemburu pada seseorang yang belum menjadi pasangan halalnya.
Islam melarang umatnya mengkhitbah seseorang yang telah dikhitbah oleh saudaranya, tak lain dan tak bukan adalah demi menjaga perasaan saudaranya tersebut, agar jangan sampai ada yang tersakiti karena rasa cemburu, meskipun secara syar’i ia belum halal dengan orang yang dikhitbahnya tersebut. Islam juga melarang pacaran, karena pacaran sangat berpotensi menumbuhkan benih-benih kecemburuan pada setiap orang yang belum halal baginya, di samping faktor-faktor lainnya yang juga diharamkan seperti ikhtilath, khalwat, dsb.
Karena pentingnya rasa cemburu itulah, Imam Bukhari membuat satu bab khusus dalam Kitab Sahih-nya, yaitu Bab Cemburu.
Cemburu ibarat lem perekat yang dapat menjaga hubungan antara suami-istri agar tidak terlepas. Selama rasa cemburu masih tetap ada dan di-menej sebaik-baiknya, maka keutuhan rumah tangga akan dapat terjalin, insyaallah. Wallahu A’lam Bis Showab..
Wassalamu'alaikum wr wb,
Shofie (fiek's)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar